Minggu, 22 Mei 2016

Gunung Mistis, Gunung Lawu

Gunung Lawu dengan ketinggian 3.265 meter di atas permukaan air laut adalah salah satu gunung yang namanya sering saya dengar. Sejak kecil, Paman dan sepupu-sepupu saya sering bercerita tentang gunung itu. Entah kenapa pembicaraan mengenai Gunung Lawu selalu saja bersimpangan dengan hal-hal mistis. Walaupun saya suka mendaki gunung, wajar saja karena cerita-cerita itu, pendakian ke Gunung Lawu tidak pernah terlintas di benak saya.
Ghoffar, salah satu teman baik saya, menghubungi saya suatu siang. “Mbak, ikut, yuk, naik ke Gunung Lawu”. Saya mengiyakan ajakan tersebut dengan sumringah karena sudah lumayan lama tidak mendaki gunung. “Kapan?” tanya saya singkat setelahnya. “Nanti malam jam 7-an jalan dari Yogya,” jawab Ghoffar santai.
Dadakan banget!” gerutu saya kepada Ghoffar. Setelah pertimbangan matang selama satu jam dan diiming-imingi jaminan bahwa semua perbekalan kelompok sudah beres, hanya perlu mengurus perlengkapan pribadi, akhirnya saya ikut serta dalam pendakian itu. Kami mendaki berenam dan berencana menginap satu malam di basecamp, untuk aklimatisasi, dan satu malam di Gunung Lawu.
Ada dua jalur utama untuk memulai pendakian Gunung Lawu. Satu melewati Cemoro Kandang di Jawa Tengah dan satu lagi melewati Cemoro Sewu, basecamp pendakian yang terletak di Jawa Timur. Gunung Lawu terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kedua basecamp ini, Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu, hanya berjarak sekitar 300 meter saja.
Teman-teman pendakian
Teman-teman pendakian
Istirahat sejenak saat menuruni jalur Cemoro Sewu
Istirahat sejenak saat menuruni jalur Cemoro Sewu
Riang gembira saya berjalan menyusuri jalur pendakian, saya lupa kalau Lawu adalah si gunung menyeramkan itu. Setelah berjalan selama hampir dua jam, kami tiba di Pos 2 (Taman Sari Atas). Pendakian terbilang santai, kami akhirnya tiba di Pos 4 saat matahari mulai terbenam. Padahal, kami memulai pendakian dari pukul setengah sepuluh pagi.
Sepanjang Pos 3 sampai Pos 4, pemandangan cantik sungguh membuat kami terlena, berlama-lama berjalan, mengabadikan banyak gambar dengan kamera. Pemandangan, sunset, garis cakrawala yang mempertemukan lautan dan langit, bunga-bunga liar, saya tidak bisa benar-benar menggambarkan betapa indahnya di atas sana.
Hari perlahan mulai gelap, dingin semakin terasa, kami meneruskan perjalanan ke Warung Mbok Yem (Iya, ada warung di dekat puncak Gunung Lawu). “Semoga kita masih dapat tempat, ya, di Mbok Yem,” ujar salah seorang teman memecah kesunyian. Bagi beberapa pendaki, Warung Mbok Yem bak resort di puncak gunung.
Tungku api, warung kecil, menyajikan minuman panas dan beberapa makanan sederhana namun lezat seperti nasi pecel, dan ruang untuk istirahat meskipun hanya berupa rumah kayu sederhana. Semua hal ini membuat Warung Mbok Yem seperti resort. Mbok Yem adalah perempuan tua yang menjadikan Gunung Lawu sebagai rumahnya. Sayangnya, saat itu Mbok Yem tidak ada di rumah.
Dari Warung Mbok Yem menuju puncak hanya butuh waktu sekitar 30 menit dengan jalur pendakian yang cukup mudah. Puncaknya memang tidak seistimewa gunung berapi, tapi pemandangan dari puncak Gunung Lawu cukup menakjubkan. Kita bisa melihat barisan gunung di Jawa. Gunung Merbabu, Merapi, Sindoro, Sumbing, dan Slamet. Terkadang Gunung Semeru juga bisa terlihat.
Gunung Lawu
Warung Mbok Yem
gunung lawu
Pemandangan di jalur Cemoro Kandang
Setelah turun dari puncak, menikmati sunrise dan sarapan, kami turun melalui jalur Cemoro Sewu mulai pukul 09.45 WIB. Sepanjang perjalanan kami bertemu banyak orang, tetapi bukan pendaki. Sekumpulan pria paruh baya mengenakan pakaian hitam dan sepatu putih. Mereka mengenakan syal batik untuk ikat kepala dan hanya membawa satu atau dua botol air minum. Orang-orang ini datang ke Gunung Lawu untuk berziarah, kata salah satu teman saya ketika melihat saya keheranan.
Perjalanan turun terasa sangat cepat, pemandangan jalur Cemoro Sewu tidak kalah dengan pemandangan jalur Cemoro Kandang. “Lumayan juga, ya, Mbak, kalau kita naik dari jalur ini,” ujar Ghoffar sambil meringis melihat turunan tiada henti, yang artinya adalah tanjakan tiada ampun kalau kami naik lewat jalur ini. Saya tersenyum saja menanggapi Ghoffar. Hati saya senang sekali karena memutuskan untuk ikut pendakian ini. Saya kangen gunung juga ternyata!
Terima kasih untuk pemandangan indah di sepanjang jalur pendakian, teman-teman mendaki yang menyenangkan, wWarung Mbok Yem untuk teh panas dan nasi pecelnya yang nikmat, saya sama sekali tidak ingat kalau Gunung Lawu adalah gunung menyeramkan yang selama ini saya hindari. Kami tiba di basecampCemoro Sewu sebelum jam 2 siang, dengan selamat, namun dengan kaki pegal-pegal. Sampai ketemu lagi, Gunung Lawu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar